Setiap Anak Unik, Yuk Bedakan Gaya Belajar dari Gangguan Belajar

s2dikdas.fip.unesa.ac.id, Surabaya – Sebagai orang tua atau guru,
kita pasti pernah melihat anak yang terlihat "lambat menangkap
pelajaran" atau bosan saat belajar. Namun, penting untuk mengenali fakta
bahwa setiap anak memiliki metode belajar yang berbeda. Dan perbedaan ini tidak
menunjukkan gangguan belajar. Anak-anak menyerap informasi dengan cara yang
berbeda-beda, ada yang lebih mudah memahami melalui gambar dan warna (visual),
ada yang lebih menyukai penjelasan lisan (auditori), dan ada pula yang
memerlukan aktivitas fisik untuk memahami (kinestetik). Dengan mengenali gaya
belajar ini membantu dalam proses pembelajaran yang lebih efektif.
Sayangnya, ada beberapa anak menerima
pendekatan yang tidak sesuai dengan cara mereka belajar di sekolah. Akibatnya,
anak-anak mungkin tampak menghadapi masalah, padahal sebenarnya mereka hanya
membutuhkan pendekatan belajar yang berbeda. Misalnya, seorang anak kinestetik mungkin tampak tidak fokus saat
duduk diam terlalu lama, bukan karena mereka tidak bisa belajar, tapi karena
mereka butuh bergerak untuk memahami pelajaran.
Berbeda dengan gangguan belajar seperti
disleksia, diskalkulia, atau ADHD, gangguan belajar adalah penyakit neurologis
yang mempengaruhi cara otak memproses data. Anak-anak yang mengalami gangguan
belajar membutuhkan dukungan khusus serta metode pendidikan yang lebih
difokuskan. Namun, ini tidak menunjukkan bahwa anak itu bodoh atau gagal. Membedakan
antara gaya belajar dan gangguan belajar penting untuk menghindari
kesalahpahaman dan menjaga kepercayaan diri anak. Jika anak terus mengalami
kesulitan dalam pelajaran dasar meskipun sudah dicoba berbagai pendekatan,
konsultasi dengan ahli seperti psikolog pendidikan atau guru pembimbing khusus
dapat membantu.
Setiap anak memang unik dengan cara belajar
yang berbeda-beda. Tugas kita adalah menemukan pendekatan yang tepat untuk
mendukung tumbuh kembang mereka, bukan menyamakan semuanya. Dengan memahami
perbedaan antara gaya belajar dan gangguan belajar, kita bisa menciptakan
lingkungan belajar yang inklusif, penuh empati, dan membangun kepercayaan diri
anak untuk berkembang sesuai potensinya.
Penulis: Sabila Widyawati
Dokumentasi: Freepik